Written by Super User on . Hits: 36

Status Hukum Perkawinan Yang Pencatatannya Dipalsukan


Oleh Dr. Nusra Arini, S.H.I., M.H.

 

PENDAHULUAN

Perkawinan adalah perilaku makhluk yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk kehidupan yang berlipat ganda di alam (Hadikusuma, 2020). Pernikahan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi semua orang, dari zaman dahulu hingga sekarang. Perkawinan adalah topik yang nyata untuk dibicarakan di alam dan di luar aturan (Rukmana, 2016). Perkawinan membangun korelasi antara suami dan istri, serta kelahiran anak menciptakan hubungan aturan antara orang tua serta anak-anaknya. Mereka memiliki properti asal pernikahan mereka serta menjalin hubungan aturan dengan properti ini.

Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah persatuan lahir batin antara seseorang laki-laki menggunakan seorang perempuan menjadi suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan tak pernah mati sesuai keimanan pada yang kuasa yang Maha Esa (Istrianty & Priambada, 2016). Pada dasarnya menjadi negara yang berlandaskan pancasila dimana sila pertama merupakan Ketuhanan yang Maha Esa, perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat menggunakan agama, sebagai akibatnya perkawinan tidak hanya memiliki unsur jasmani atau jasmani, namun juga unsur ke dalaman atau kerohanian memiliki arti krusial peran, ini lalu harus didaftarkan buat membangun kepastian hukum (Lengkong et al., 2021).

Pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Itu artinya perkawinan yang sah apabila telah tercatat sesuai dengan peraturan perundangan. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan beragama Islam harus dicatatkan dalam akta nikah (Musyafah, 2020). Pencatatan perkawinan menurut ayat 1 perkawinan dilakukan sang kepala tempat kerja pengakuan (Nazah & Husnia, 2018).

Eksistensi perkawinan pada mulanya tidak ada syarat pencatatan, namun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pencatatan menjadi ketentuan sahnya perkawinan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Hukum Positif di Indonesia yaitu pada Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi bisa dibatalkan pernikahannya. Demikian juga sebagaimana dalam Pasal 71 huruf (e) Kompilasi hukum Islam bahwa perkawinan dapat dibatalkan jika perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak (Wahbah Zuhaili, 2010).

Dalam studi kasus yang terjadi di Mataram bahwa telah terjadi perkawinan antara X (suami) dengan Y (istri) puluhan tahun. Pada tahun ke 21, Y mengajukan cerai dengan komulasi hadhanah dan harta bersama di Pengadilan Agama. Dalam proses perceraian tersebut, pihak X sudah menyampaikan dalam jawabannya bahwa pihak X dengan Y tidak pernah terjalin perkawinan yang sah. Namun, dalam proses persidangan pihak Y sanggup membuktikan adanya perkawinan yang sah antara Y dengan X dengan Kutipan Akta Nikah.

Pada putusan tingkat pertama Nomor 376/Pdt.G/2012/PA.MTR menyatakan mengabulkan gugatan cerai dengan komulasinya. Itu artinya X dan Y terikat dengan perkawinan yang sah, lalu setelah melalui proses persidangan, maka X dan Y dinyatakan telah bercerai. Putusan ini dibacakan pada tanggal 8 Januari 2014. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2014 dibacakan putusan Banding Nomor 0031/Pdt.G/2014/PTA.MTR, yang amarnya menguatkan putusan Pengadilan Agama tersebut. Demikian juga pada keputusan Kasasi No. 66 K/Ag/2015 yang diputus pada tanggal 11 Februari 2015 yang amarnya menolak permohonan kasasi dan juga pada Putusan Kasasi No. 299 K/Ag/2015 yang diputus tertanggal30 Maret 2015. Ini artinya tetap menguatkan putusan tingkat banding. Pihak X juga telah melakukan Peninjauan Kembali yang telah diputus pada tanggal 24 Agustus 2016 dengan Nomor Putusan 47 PK/Ag/2016 dan isi putusannya juga menyatakan menolak upaya hukum peninjauan kembali.

Pihak X juga mengajukan gugatan dengan perihal perbuatan melawan hukum terhadap Y ke Pengadilan Negeri. Oleh Pengadilan Negeri setelah melalui proses persidangan dengan pembuktian yang diteliti ulang, ternyata pihak Y terbukti melakukan pemalsuan kutipan akta nikah. Putusan dengan Nomor 109/Pdt.G/2017/PN.MTR dibacakan pada tanggal 19 Oktober 2017. Lalu putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan lagi dengan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 9/PDT/2018/PT.MTR yang dibacakan pada tanggal 6 Maret 2018.

Ada sebagian individu yang terlibat dalam tindakan memalsukan kutipan akta nikah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Keuntungan-keuntungan ini dapat mencakup kemampuan untuk mengakses warisan, menuntut hak-hak tertentu, atau memperoleh hak-hak istimewa lainnya yang secara eksklusif diperuntukkan bagi individu-individu yang secara sah diakui sebagai pasangan. Dalam konteks hukum atau administratif tertentu, individu dapat terlibat dalam tindakan memalsukan kutipan akta nikah untuk memenuhi persyaratan tertentu, seperti memperoleh visa atau memperoleh kewarganegaraan.

Dalam kasus tertentu, individu terlibat dalam tindakan pemalsuan kutipan akta nikah sebagai cara untuk menghindari kewajiban hukum atau keuangan, termasuk pembagian aset bersama yang adil, penentuan pengaturan hak asuh anak, atau pemenuhan pembayaran tunjangan keluarga. Dalam konteks budaya tertentu, status sosial seseorang dapat meningkat berdasarkan status pernikahannya. Oleh karena itu, orang-orang tertentu dapat terlibat dalam tindakan memalsukan akta nikah sebagai sarana untuk meningkatkan status sosial mereka.

Masyarakat tertentu memiliki perspektif yang berbeda tentang pernikahan dan dinamika keluarga. Dalam kasus-kasus tertentu, seseorang dapat terdorong untuk memalsukan akta nikah karena pengaruh eksternal yang berasal dari faktor sosial atau budaya, terutama ketika ada stigmatisasi masyarakat atau sikap diskriminatif terhadap status pernikahan seseorang. Pemalsuan kutipan akta nikah juga dapat bermanifestasi dalam upaya kriminal atau penipuan, di mana tindakan pemalsuan dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang melanggar hukum.

Dalam kerangka hukum di Indonesia, keabsahan pernikahan bergantung pada bukti Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang (Usman, 2017). Akta Perkawinan berfungsi sebagai alat bukti dalam rangka menjamin keadilan. Tindakan memalsukan akta nikah tunduk pada peraturan hukum dan dapat dianggap melanggar hukum. Hal ini juga dapat menjadi faktor pendorong bagi individu untuk terlibat dalam kegiatan ilegal, sehingga menimbulkan respon sosial dalam masyarakat.

Temuan penelitian Fahma (2022) Pelaksanaan kontrol sosial melalui mekanisme hukum memberikan pilihan yang berbeda kepada individu atau anggota masyarakat, yaitu konformitas atau penyimpangan. Di antara berbagai bentuk penyimpangan, yang paling parah adalah pelanggaran hukum pidana terkait pemalsuan akta nikah. KUHP dapat menjadi acuan untuk menggarisbawahi sifat imperatif dari pengenaan hukuman atas penerbitan akta nikah. Sehubungan dengan pelaksanaan perkawinan, ada kecurigaan seputar terjadinya pemalsuan surat-menyurat. Menurut ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 263 KUHP, orang yang terlibat dalam tindakan pemalsuan akta nikah dapat menghadapi potensi hukuman maksimal enam tahun. Terlepas dari ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 263 KUHP, yang mengatur hukuman penjara maksimal enam tahun bagi pelaku, penerapan hukuman tidak sejalan dengan ketentuan hukum.

Penelitian ini menggunakan Undang-Undang Perkawinan sebagai rujukan hukum. Berdasarkan pada latar belakang masalah inilah penulis tertarik buat membahas serta mendalami lebih pada tentang status perkawinan dengan pencatatan palsu dari sudut pandang hukum positif dan aturan Islam, aspek hukum hakim dan perlindungan aturan terhadap hak-hak yang ada berasal perkawinan tanpa pencatatan.

 

 

METODE

Penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) menggunakan pendekatan hukum normatif-empiris (Arum, 2017). Tiga jenis pengumpulan data digunakan dalam persiapannya, yaitu data primer, sekunder dan tersier. Sumber data penelitian ini diperoleh melalui kombinasi pencarian informasi melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Dianggap penelitian lapangan karena data penelitian dikumpulkan pribadi dari Sumbernya (data utama) yang dikumpulkan melalui wawancara dengan menyiapkan indera berita umum buat informan yaitu Hakim Tingkat Pertama, Hakim Tinggi dan Hakim Agung. Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan penelusuran pustaka dimana data yang dikumpulkan merupakan informasi yang tersedia dari pihak ketiga (sekunder). Informasi sekunder diperoleh dengan membaca buku, majalah, surat kabar dan laporan ahli terkait kenyamanan pencatatan nikah. Data primer dan sekunder diolah melalui studi dokumen, telaah dokumen atau analisis dokumen (Listyorini, 2016). Analisis dokumen dilakukan langkah demi langkah; Menyusun dokumen, memilah dokumen, menganalisisnya secara menyeluruh dan menarik kesimpulan (Zakariah et al., 2020). Teknik pengujian keabsahan data penelitian ini didasarkan pada pendapat Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkawinan yang sah sebagai suatu perjanjian yang sah harus dapat dibuktikan keabsahannya. Perkawinan yang sah secara agama dan tercatat pemerintah buktinya berupa dokumen yang dikeluarkan pemerintah (Andrizal & Akhbarizan, 2022). Jika perkawinan dilakukan dari keyakinan Islam, maka perkawinan dilakukan pada kantor Urusan kepercayaan, yang berarti perkawinan itu legal dari Islam dan negara. Bukti yang terdokumentasi dari negara merupakan surat nikah KUA. Pasangan beragama non-Muslim yang menyatakan pernikahan gerejanya kepada pencatat menerima bukti dokumen pemerintah berupa akta nikah.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 bersifat umum, sedangkan penyusunan hukum Islam bersifat khusus, karena hanya berlaku bagi umat Islam di Indonesia. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam ini juga digunakan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dalam memenuhi kewajibannya dalam hal perkawinan, waris dan hibah. Kompilasi Hukum Islam juga memuat syarat-syarat perkawinan, termasuk pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam beberapa pasal yaitu Pasal 5, 6 dan 7. Mengingat (2) pasal yaitu Pasal 5 dan 6 yang terdapat pada ringkasan hukum Islam, tetap disebut perkawinan yang tidak tercatat sah karena memenuhi kondisi-syarat agama, namun perkawinan itu tak memiliki kekuatan hukum, merupakan Bila perkawinan itu berakhir pada lalu hari atau pada perkawinan itu terdapat duduk perkara ihwal harta warisan, anak dan sebagainya. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya bukti yang menguatkan (surat nikah) bahwa mereka pernah menikah. Jika kita melihat aturan hukum Islam, pencatatan pernikahan tidak pernah secara jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an atau Hadits, bahkan pada masa ulama madzhab, tidak pernah ada undang-undang tentang kewajiban untuk mendaftarkan perkawinan. Keberadaan peraturan pencatatan perkawinan telah diamanatkan di beberapa negara muslim, termasuk Indonesia, dalam reformasi hukum keluarga, padahal Indonesia sebenarnya bukan negara muslim dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Seiring berjalannya waktu, pencatatan perkawinan dianggap sangat penting mengingat banyak permasalahan yang disebabkan oleh tidak dicatatnya perkawinan di masyarakat, seperti tidak diakuinya anak sebagai ahli waris yang sah, penyangkalan status anak-anak, ketidakmampuan istri untuk menuntut hak mereka dalam perceraian dan perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki efek yang jauh lebih negatif.

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk administrasi dan sistem hukum yang diatur, pada masa seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan dianggap sangat penting (Mangku & Yuliartini, 2020). Tertib administrasi telah disyariatkan oleh ajaran agama Islam (Mohd. Idris Ramulyo, 1996) yang tercantum di dalam Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Zamroni, 2019).

Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap peristiwa muamalah harus dicatat, oleh karena itu ayat ini juga secara tidak langsung merujuk pada pencatatan perkawinan, karena perkawinan bukan hanya perkara ibadah tetapi juga muamalah karena adanya hubungan kontraktual manusia-manusia. Bila hanya mengandalkan akta nikah berupa saksi hidup saja tidak cukup karena tidak ada yang mengetahui batas usia seseorang. Oleh karena itu, tertibnya pencatatan perkawinan dianggap sangat penting karena suatu pencatatan perkawinan memberikan bukti yang kuat berupa akta nikah. Urgensi pencatatan perkawinan dapat dilihat dari tugas pencatatan perkawinan itu sendiri. Pentingnya tugas administrasi dalam bentuk perkawinan dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif; Pertama, dari sudut pandang negara, pendaftaran tersebut diperlukan atas nama negara untuk menjamin proteksi, progres, pemenuhan HAM. Ini adalah pertanggungjawaban Negara yang sesegara mungkin dilaksanakan berdasarkan persyaratan hukum. Kedua, pencatatan perkawinan oleh pemerintah menjadi sasaran karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang penting dalam kehidupan pasangan yang bersangkutan yang pada hakekatnya mempunyai akibat hukum yang sangat luas (Khairuddin & Julianda, 2017). Sehubungan dengan itu dokumen pencatatan perkawinan dapat dibuktikan secara lengkap dengan dokumen yang nyata, maka dari itu proteksi dan pelayanan oleh negara dalam kaitannya dengan hak perkawinan bisa dilaksanakan dengan efektif dan juga seefisien mungkin.

Perbuatan melawan hukum berupa pemalsuan akta nikah biasanya dilakukan karena seseorang tidak ingin pihak lain dirugikan, misalnya seseorang ingin menikah lagi tanpa izin istri pertama atau perempuan lain (Zalza, 2022). Namun dalam penelitian ini, pemalsuan akta nikah suami istri dilakukan secara bersama-sama dan secara sadar, yang tujuan awalnya adalah untuk menerima keberadaan rumah tangga dan untuk memudahkan segala urusan pengurusan kependudukan.

Di negara perkawinan yang tidak dicatatkan, perkawinan yang dicatatkan mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda, apalagi jika dibuktikan di pengadilan (Nasitah, 2016), dimana akibat hukum yang paling terlihat menyangkut anak dan harta bersama. Hal ini terlihat pada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, yang secara alamiah mengalami diskriminasi dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak yang meliputi pelayanan sosial, pendidikan dan juga pewarisan, dimana hak waris pasangan tidak akan timbul secara sah jika perkawinan mereka tidak terdaftar. Urgensi perkawinan yang diwajibkan oleh negara pada hakekatnya didasarkan pada jaminan perlindungan dan keadilan (Jamil & Nur, 2022), pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai pasangan suami isteri yang sah dan diakui oleh Negara. 

Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Perkawinan dengan Pencatatan yang Dipalsukan

Dalam hal status perkawinan dengan pencatatan yang dipalsukan sebagaimana dalam penelitian ini bermula dari adanya gugatan penggugat yang masuk ke Pengadilan Agama Mataram dengan nomor register376/Pdt.G/2012/PA.Mtr perihal cerai gugat. Perkara Nomor 376/Pdt.G/2012/PA.Mtr ini merupakan perkara cerai gugat yang dikomulasikan dengan perkara hadhanah dan harta bersama yang diajukan oleh seorang Isteri sebagai Penggugat terhadap suaminya sebagai Tergugat. Pihak dalam perkara ini tidak hanya Penggugat (istri) dan Tergugat, namun ada pihak lainnya sebagai pihak ketiga terkait dengan Harta Bersama. Perkara ini bermula diajukan pada tanggal 4 Oktober 2012, dimana dalam proses jawab menjawab tergugat membantah telah menikah secara sah dengan Penggugat. Namun dalam proses pembuktiannya, Penggugat dapat membuktikan adanya pernikahan yang sah antara Penggugat dan Tergugat dengan adanya bukti Kutipannya Akta Nikah berdasarkan namanyayang menggugat dan yang digugat. Bukti akta nikah tersebut dibantah dengan bukti Tergugat yaitu putusan Pengadilan Negeri Mataram yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram yang menyatakan bahwa bukti akta nikah tersebut adalah palsu.

Menurut penulis, pertimbangan hukum hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Mataram pada hakikatnya merupakan putusan tentang adanya dugaan perbuatan melawan hukum berupa akta nikah palsu, bukan putusan yang membatalkan perkawinan dikarenakan Pengadilan Negeri bukanlah Pengadilan yang berwewenang untuk memutuskan itu. Meskipun perkara pembatalan Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat pernah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram, namun perkara tersebut kemudian dicabut.

Kondisi yang menarik dalam penelitian ini adalah bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah menjalani hidup bersama sebagai suami istri selama lebih kurang 21 tahun dan bukti Kutipan Akta Nikah tersebut sudah digunakan oleh Penggugat dan Tergugat dalam urusan keperdataan seperti penerbitan akta kelahiran anak, urusan naik haji, urusan kredit Bank serta urusan bisnis lainnya. Ini artinya bahwa riwayat perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah suatu kenyataan yang diakui oleh Tergugat. Dalam jawaban dan dupliknya Tergugat juga mengakui bahwa Tergugat dan Penggugat telah menikah secara sirri sebanyak 2 (dua) kali. Yang pertama di Lumajang, pelaksanaan pernikahannya dilakukan hanya sebatas terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan secara Islam. Adapun yang kedua, pelaksanaannya pernikahannya di daerah Nganjuk, dimana pada pernikahan yang kedua ini dilakukan perkawinan ulang dikarenakan untuk mendapatkan restu dari orangtua Tergugat. Bagi penulisjika perkawinan tersebut ditinjau dari hukum Islam maka syarat dan rukun perkawinannya telah terpenuhi dan perkawinannya menjadi sah di mata agama, bukan negara.

Akta nikah berfungsi sebagai bukti sahnya perkawinan bagi seseorang, yang sangat berguna dan bermanfaat bagi dirinya dan keluarganya (istri dan anak) untuk menolak dan menghindari kemungkinan perkawinannya menjadi tidak sah di kemudian hari (Dasopang, 2020). Akibat perkawinan dalam kaitannya dengan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dan/atau harta bersama lainnya berupa hak bunga.

Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa keharusan perkawinan dicatatkan dengan keharusan perceraian di depan pengadilan adalah sepadan untuk tujuan tercatatnya suatu perkawinan maupun perceraian yang pada hakikatnya untuk ketertiban administrasi perkawinan maupun perceraian. Sepadan dengan itu diajukannya itsbat perkawinan guna tercatatnya suatu perkawinan, begitu pula dengan perceraian dari perkawinan yang tercatat, maka jika gugatan tersebut dipahami sebagai komulasi dengan itsbat perkawinan yang secara teological dari kacamata hukum maupun norma hukum, nilai mashlahah-nya lebih penting dan utama, mengingat sudah sedemikian rupa pecahnya rumah tangga keduanya sehingga dipandang tidak ada mashlahah lagi jika disatukan. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 83 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta prinsip maqashid at-tasyri’iyyah untuk tercapainya kemaslahatan yaitu ketertiban dan keadilan masyarakat dalam bidang hukum keluarga(Drs. Ahmad Zaeni, S.H., 2020).

Bila mengkajinya lebih lanjut dan menelisiknya melalui pendekatan dengan menggunakan metode sadd al- dzari’ah, maka pencatatan nikah itu wajib karena membawa kepada perbuatan baik dan menyebabkan Mashlahah dengan melindungi pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan. Pencatatan perkawinan juga merupakan sarana penutupan jalan yang mengarah pada perbuatan-perbuatan terlarang yang merugikan perempuan bahkan anak-anaknya.

Wajibnya melakukan pencatatan pernikahan ini didukung melalui kajian mashlahah mursalah serta maqashid al-syar’iyyah bahwa kemaslahatan pencatatan pernikahan termasuk dalam kategori kemaslahatan dharuriyah, yakni termasuk bisa melindungi dan memelihara kemaslahatan agama, jiwa logika, keturunan dan harta. Kemaslahatan pada pencatatan pernikahan ini dapat memelihara kemaslahatan agama dikarenakan menggunakan adanya pencatatan, maka ajaran-ajaran agama tidak dipraktekkan oleh masyarakat. Begitu juga pencatatan pernikahan ini dapat memelihara kemaslahatan jiwa dikarenakan dapat menyampaikan ketentraman terhadap psikologis isteri serta anak, bahkan menggunakan adanya ketentraman psikologis tadi, akal pikiran tidak terganggu dan terkuras untuk memikirkan dan merampungkan duduk perkara dilema yang dihadapi.

Tujuan penetapan hukum atau dalam Prinsip maqasid al-syariah pada hakekatnya merupakan salah satu konsep yang sangat penting dalam kajian hukum Islam. Karena maqasid al-syariah itu penting, maka para ahli teori hukum berakibat maqashid al-syariah menjadi sesuatu yang harus dipahami sang para mujtahid yang melakukan ijtihad. Inti berasal teori Maqasid al-Syari'ah ialah tahu kebaikan menggunakan menghindari keburukan atau kemaslahatan serta menolak keburukan. Ungkapan yang sesuai menggunakan hakikat maqashid al-syariah adalah mashlahah karena ketentuan hukum Islam wajib mengarah pada mashlahih. Juri lebih banyak menggunakan aspek dharuriyyah dari mashlaha untuk menjaga jiwa dan harta bersama. Selain itu, juga menggunakan konsep mashlahah mursalah karena majelis hakim berpendapat bahwa penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah sebagai suami istri yang dibuktikan dengan adanya kutipan akta nikah, meskipun sudah ada keputusan dari Pengadilan Agama Mataram dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Mataram yang menemukan bahwa kutipan akta nikah dipalsukan, karena kutipan akta nikah palsu dan pernikahan antara penggugat dan tergugat adalah dua hal yang berbeda (Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., 2021), sebab kenyataannya Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang telah hidup bersama selama 21 (dua puluh satu) tahun dan telah memiliki anak. Kemudian dengan Kutipan Akta Nikah tersebut Penggugat dan Tergugat juga sudah menggunakan untuk kepentingan perdata seperti penerbitan akta kelahiran anak, urusan haji dan urusan bisnis lainnya.

Selanjutnya dikarenakan Majelis Hakim menyatakan Penggugat serta Tergugat adalah suami isteri yang sudah terikat perkawinan yang legal, oleh karenanya gugatan perceraian Penggugat dan Tergugat selanjutnya diperiksa oleh Majelis Hakim. Dalam proses pemeriksaan tersebut, terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat memang telah terjadi perselisihan dan pertengkaran. Selanjutnya dengan berbagai pertimbangan, maka Majelis Hakim kemudian mengabulkan perceraian Penggugat terhadap Tergugat. Sebagai konsekuensi logis dari telah dikabulkannya perceraian antara Penggugat dan Tergugat, maka Majelis Hakim tingkat pertama kemudian memeriksa akibat dari perceraian tersebut seperti yang menyangkut hak-hak isteri yang putus perkawinannya, hak hadhanah anak dan juga yang terkait dengan harta bersama dan lainnya.

Selanjutnya dalam Putusan Nomor 0031/Pdt.G/2014/PTA.Mtr, tanggal 21 Januari 2014 pihak intervensi sebagai pihak ketiga ini kemudian mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut. Dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat banding menyatakan bahwa apa yang telah dipertimbangkan Majelis hakim tingkat pertama berkenaan dengan status perkawinan Penggugat dan Tergugat telah mempertimbangknnya dengan tepat dan benar. Kemudian Majelis Hakim tingkat banding mempertimbangkan bahwa bukti Kutipan Akta Nikah yang telah dinyatakan palsu (menggunakan akta otentik yang isinya tidak benar atau yang palsu seolah-olah benar dan tidak dipalsukan) dalam putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram, namun putusan Pengadilan Negeri dan putusan Pengadilan Tinggi Mataram tersebut bukanlah putusan yang membatalkan perkawinan Penggugat dan Tergugat. Demikian juga kenyataannya bahwa Penggugat dan Tergugat telah mejalani hidup bersama sebagai suami istri selama kurang lebih 21 tahun sebagaimana diakui oleh Tergugat bahwa Penggugat dengan Tergugat telah menikah sirri (menurut tata cara syariat Islam) sampai dengan diajukannya gugatan Penggugat ke Pengadilan Agama Mataram dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak.

Kemudian Majelis Hakim menambahkan pertimbangan bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dilaksanakan secara syariat Islam adalah perkawinan yang legal/resmi/sah, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal (4) Kompilasi Hukum Islam, sedangkan putusan Pengadilan Negeri maupun putusan Pengadilan Tinggi bukanlah putusan yang membatalkan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Majelis Hakim tingkat banding sependapat dengan yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam putusannya serta alasan-alasan yang menjadi dasar dalam putusannya tersebut baik yang berkenaan dengan gugatan perceraian, gugatan nafkah iddah, mut’ah, nafkah lampau, hadhanah dan nafkah anak, telah diuraikan dengan tepat dan benar. Oleh karena itu pertimbangan hukum tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pendapat dan petimbangan hukum Majelis Hakim tingkat banding.

Selanjutnya terlihat bahwa Pihak ketiga (pihak intervensi) merasa keberatan dengan putusan pengadilan tingkat banding yang kemudian mengajukan upaya hukum kembali yaitu berupa upaya hukum Kasasi tepatnya pada tanggal 24 Juli 2014 seperti yang tercatat dalam Perkara Kasasi Nomor 66/K/Ag/2015. Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum pada tingkat kasasi tersebut adalah dimana majelis hakim menyatakan bahwa status perkawinan yang telah dipertimbangkan pada putusan Pengadilan sebelumnya yakni pada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan di bawahnya adalah dapat dibenarkan dan tidak salah dalam menerapkan hukum.

Selanjutnya Hakim tingkat kasasi menambahkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang yang berlaku, maka permohonan kasasi yang diajukan pihak ketiga (intervensi) dinyatakan ditolak. Putusan kasasi yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 11 Februari 2015. Dengan ditolaknya permohonan kasasi tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ini berarti bahwa status perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat adalah sebagai suami istri yang sah dan telah bercerai.

Selain pihak ketiga mengajukan kasasi sebagaimana pada Putusan Nomor 66/K/Ag/2015, pihak Tergugat (suami) juga mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan banding Nomor 0031/Pdt.G/2014/PTA.Mtr. Pihak Tergugat (suami) juga mengajukan kasasi pada tanggal 25 Juli 2014. Bahwa alasan-alasan Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa judex facti tingkat banding telah memberikan pertimbangan yang tepat dan benar, tidak terdapat kekhilafan ataupun kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Majelis Hakim tingkat kasasi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi hanya menyatakan adanya dokumen palsu, putusan tersebut tidak otomatis membatalkan ikatan perkawinan antara Tergugat dengan Penggugat, sehingga selama tidak ada Putusan pengadilan yang berwenang yang membatalkan ikatan perkawinan antara keduanya masih tetap sah, apalagi mereka telah hidup bersama selama 21 tahun dan telah dikaruniai anak. Pada hari Senin tanggal 30 Maret 2015 putusan kasasi Nomor 299/K/Ag/2015 dibacakan oleh Majelis Hakim. Amar putusan kasasi tersebut intinya menolak pemohonan kasasi yang diajukan oleh pihak Tergugat. Dengan ditolaknya permohonan kasasi tersebut, maka status perkawinan antara keduanya adalah perkawinan yang sah dan sudah bercerai berdasarkan putusan tingkat pertama.

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim ini penulis meyakini bahwa memang sebenarnya esensi dari perkawinan itu sendiri pada hakikatnya adalah terletak pada shighat yang sakral dan konsekuensi hukum yang timbul darinya sehingga keduanya kemudian masing-masing dapat melakukan hubungan hukum.

Dalam perkara ini, meskipun hubungan hukum telah dilakukan secara sadar dan bersama, namun tetap saja tergugat kembali mengajukan upaya hukum berupa upaya hukum peninjauan kembali dengan harapan indikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh isterinya dapat membatalkan konsekuensi hukum dari akibat putusnya perkawinan setelah itu. Persidangan adalah suatu tindakan hukum luar biasa yang dapat ditempuh selama seratus delapan puluh hari setelah putusan menjadi tetap dan dalam putusan tersebut terdapat bukti baru (novum) dan/atau bukti kecurangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Suami (termohon) mengajukan pengaduan luar biasa ini pada 28 Januari 2016. Dalam pertimbangan hukum hakim tingkat kasasi menyatakan bahwa setelah membaca dan memerhatikan putusan Judex Facti/Pengadilan Agama Mataram, Judex Juris, Memori Peninjauan Kembali dan Jawaban Memori, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa tidak ada kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam memutus perkara a quo, semuanya sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti dan Judex Juris sesuai dengan hukum yang berlaku.

Majelis Hakim menambahkan berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Tergugat tersebut ditolak. Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada Tanggal 24 Agustus 2016. Dengan ditolaknya pemohonan kasasi tersebut, maka status perkawinan antara keduanya adalah sah dan diakui negara.

Amran Suadi dalam diskusinya menjelaskan bahwa meskipun pernikahan kedua belah pihak antara penggugat dan tergugat dilakukan secara sirri dan dengan dokumen akta nikah yang kemudian diketahui ternyata dokumen tersebut palsu, namun kepalsuannya hanya dari segi pencatatannya saja, karena kenyataannya mereka memang sudah benar-benar menikah, jadi tidak hanya melihat dari segi legal formalnya saja, melainkan melihat kepada hukum senyatanya. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu keadilan yang hakiki, maka meskipun pernikahannya tidak tercatat, namun jangan sampai merugikan hak-hak isteri yang akan diceraikan, karena persoalan pencatatan adalah persoalan lain, apalagi tidak tercatatnya itu adalah tidak tercatat yang disengaja yang dilakukan secara sadar oleh kedua belah pihak dan keduanya juga sudah dikaruniai anak dan sudah melakukan banyak kegiatan yang melibatkan kedua belah pihak seperti kredit dan transaksi lainnya (Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., 2021).

Lebih lanjut Ahmad Zaeni juga menyatakan bahwa nikah siri dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun nikah serta tidak menimbulkan mudharat atau dampak negatif. Namun dengan tidak adanya ketentuan dalam undang-undang negara yang lebih meyakinkan dalam mencatatkan perkawinan dan menentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut, banyak orang yang melakukan perkawinan tidak tercatat, yang menghadapi resiko lebih besar di kemudian hari ketika perkawinan itu dilangsungkan.

Hamzani Hamali menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perkawinan yang tidak tercatat; Pertama, perkawinan biasanya dilakukan tanpa wali. Perkawinan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena wali perempuan atau laki-laki tidak setuju atau tidak bisa hadir. Kehadiran saksi mungkin tidak dianggap, tetapi tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang sah menurut hukum Islam, dan tentunya perkawinan demikian tidak dilakukan dan dicatatkan di hadapan pegawai pencatat. Kedua, Kantor Urusan Agama tidak dapat menerbitkan akta nikah karena laki-laki atau perempuan yang telah menikah sebelumnya tidak dapat mengajukan cerai yang sah dari perkawinan sebelumnya.

Dalam putusan Nomor 109 Pdt.G/2017/PN. Mtr pihak suami selaku penggugat pada tanggal 2 Juni 2017 yang mengajukan gugatan terhadap isterinya ke Pengadilan Negeri Mataram. Pihak suami yang semula menyatakan bahwa isterinya telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan dugaan melakukan pemalsuan dokumen akta nikah. Dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh Isteri di Pengadilan Agama Mataram didasarkan pada bukti Kutipan Akta Nikah yang ternyata Akta Nikah tersebut berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri sebagai bukti otentik yang isinya tidak benar atau yang palsu seolah-olah benar dan tidak dipalsukan, putusan tersebut telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi. Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri menyatakan dalam pertimbangannya, meskipun gugatan perceraian yang diajukan oleh Tergugat telah berkekuatan hukum tetap, bahkan sampai tingkat Peninjauan Kembali, akan tetapi menurut Majelis, sama sekali tidak menjadi penghalang bagi Suami untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, karena akibat putusan perceraian tersebut Suami (Tergugat) kehilangan sebagian harta miliknya.

Lebih jauh majelis hakim pada persidangan selanjutnya memberi pertimbangan bahwa yang dimaksud menggunakan perbuatan melawan hukum ialah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain ataupun berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban dari undang-undang dan bertentangan menggunakan apa yang dari aturan tidak tertulis seharusnya dijalankan oleh seseorang.

Menurut penulis setidaknya terdapat 4 (empat) kriteria perbuatan melawan aturan, seperti; pertama, bertentangan menggunakan kewajiban hukum si pelaku, ke 2, melanggar hak subyektif orang lain, ketiga, melanggar kaidah kesusilaan, dan keempat, bertentangan menggunakan asas kepatutan, ketelitian dan perilaku hati-hati yang seharusnya dimiliki seorang dalam pergaulan menggunakan sesama masyarakat rakyat atau terhadap mal orang lain. Kemudian dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa berdasarkan pada 4 kriteria tersebut perbuatan isteri (semula Penggugat dalam perkara cerai) dengan menggunakan akta otentik yang isinya tidak benar atau yang palsu seolah-olah benar dan tidak dipalsukan in casu Akta Nikah, sebagai dasar untuk menggugat perceraian dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan bahwa penggunaan Akta Nikah sebagai bukti untuk mengajukan gugatan cerai dan harta gono gini, padahal senyatanya Isteri telah mengetahui bahwa Akta Nikah tersebut isinya tidak benar atau palsu, karena perkawinan antara Penggugat dan Tergugat senyatanya memang tidak pernah dicatatkan, menurut Majelis Hakim sangat bertentangan dengan hak subyektif Penggugat, karena perceraian tersebut mengakibatkan Suami kehilangan sebagian hartanya. Bahwa disamping melanggar hak subyektif suami (Penggugat) penggunaan Akta Nikah sebagai dasar untuk mengajukan gugatan cerai dan harta bersama, menurut Majelis juga melanggar asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki istri (Tergugat: PMH, Penggugat: cerai), tidaklah patut manakala memperoleh sebagian harta milik Penggugat (suami) dengan menggunakan akta nikah yang palsu.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri menyatakan perbuatan Tergugat yang menggunakan Akta Nikah yang isinya tidak benar atau palsu untuk bukti gugatan perceraian dan pembagian harta gono-gini memenuhi kriteria sebagai perbuatan melawan hukum. Putusan tersebut dibacakan pada hari Kamis, tanggal 19 Oktober 2017 yang dalam amarnya intinya menyatakan Tergugat (isteri) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Keberatan atas putusan ini, kemudian pihak isteri pada tanggal 2 Nopember 2017 mengajukan Banding atas putusan tingkat pertama. Dalam pertimbangan putusan Nomor 9/Pdt/2018/PT. Mtr tersebut, Majelis Hakim tingkat banding menyatakan bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan, Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tingkat Pertama secara mutatis mutandis karenanya diambil alih untuk dijadikan dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi di dalam memutus perkara tersebut. Putusan Banding tersebut dibacakan pada hari Selasa, tanggal 6 Maret 2018 yang inti amarnya menyatakan bahwa menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 109 Pdt.G/2017/PN.Mtr tersebut.

Terjadinya dualisme putusan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri ini bukanlah sebuah pertentangan karena putusan Pengadilan Agama merupakan putusan yang menyangkut keperdataan sedangkan putusan Pengadilan Negeri menyangkut kepidanaan, meskipun putusan Pengadilan Negeri ini menjadi pintu masuk untuk membuat harta bersama sebagai perbuatan melawan hukum, karena seharusnya yang menyangkut harta bersama adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama dan dalam konteksnya Hakim Pengadilan Agama dapat menyatakan walaupun telah terjadinya perbuatan melawan hukum, namun senyatanya para pihak memang adalah suami isteri yang sah dan telah menjalani perkawinannya selama lebih kurang 21 (dua puluh satu) tahun, sehingga orientasi yang akan dicapai disini bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga menegakkan keadilan. Hukum dan keadilan pada dasarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam hubungan aktualisasinya, sebab keadilan diciptakan karena adanya hukum. Sebab tujuan utama penegakan hukum artinya buat mewujudkan adanya rasa keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan kepada pada para pihak tersebut, maka harus mencerminkan aspek kepastian serta ketertiban hukum.

Pertimbangan hukum hakim pada Pengadilan Agama Mataram sebagaimana dalam penelitian ini lebih melihat kepada realitanya sebuah perkawinan, karena meskipun akta nikah yang digunakan adalah palsu, namun keduanya secara sadar dan bersama-sama mengakui telah menjalani perkawinan selama lebih kurang 21 tahun dan telah menggunakan dokumen tersebut untuk urusan-urusan keperdataan lainnya. Hakim Pengadilan Agama karena sifatnya yang pasif hanya menyidangkan apa yang diminta tanpa menelusuri lebih lanjut apakah akta nikah yang digunakan asli atau palsu, sehingga yang terpenting dari putusan yang bersifat kasuistis ini adalah nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan hukumnya. Adapun Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Mataram merupakan putusan tentang adanya dugaan perbuatan melawan hukum berupa akta nikah palsu, bukan putusan yang membatalkan perkawinan dikarenakan Pengadilan Negeri bukanlah Pengadilan yang berwenang untuk memutuskan itu.

Di Kantor Urusan Agama (KUA), berbagai strategi dapat diterapkan untuk memastikan kepatuhan calon pengantin terhadap prasyarat pernikahan, sehingga dapat mengurangi potensi penipuan atau kesalahan informasi dalam proses verifikasi. Beberapa strategi dapat diterapkan di KUA untuk memastikan integritas proses pernikahan. Strategi ini mencakup verifikasi dokumen asli, pemeriksaan database secara menyeluruh, melakukan wawancara dengan calon pengantin, memberikan pendidikan dan konseling pranikah, serta berkolaborasi dengan instansi terkait seperti BPS dan Disdukcapil untuk mengotentikasi data calon pengantin dan memvalidasi dokumen yang diajukan. Pemanfaatan teknologi dan aplikasi khusus dalam konteks pencatatan nikah dan verifikasi data berpotensi untuk merampingkan prosedur administratif dan mengurangi terjadinya kesalahan manusia. KUA memiliki kapasitas untuk terlibat dalam kampanye atau upaya sosialisasi yang bertujuan untuk mempromosikan pentingnya melakukan pernikahan secara legal dan etis. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mematuhi protokol yang tepat dalam proses pernikahan dapat berkontribusi pada mitigasi risiko yang terkait dengan pemalsuan atau penggunaan akta nikah yang tidak sah.

 

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Yang Ditimbulkan dari Perkawinan Tanpa Pencatatan

Perbuatan pencatatan perkawinan memang bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan yang dilakukan, melainkan hanyalah bersifat administratif (Muis, 2018). Perbuatan pencatatan perkawinan ini seakan menyatakan bahwa insiden perkawinan itu memang benar ada dan benar terjadi. Oleh karena itu, dengan adanya pencatatan maka perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan juga bagi pihak- pihak lainnya.

Pernikahan yang tidak dicatatkan, umumnya dikenal sebagai pernikahan yang tidak sah (Faizal, 2016), menunjukkan sebuah ikatan perkawinan yang tidak memiliki pengakuan hukum karena kegagalannya untuk memenuhi kriteria dan formalitas yang disyaratkan dalam sebuah pernikahan yang sah (Diab, 2018). Meskipun pernikahan ini tidak memiliki pengakuan hukum, beberapa yurisdiksi tertentu dapat menawarkan perlindungan hukum untuk hak-hak tertentu yang muncul dari pernikahan tersebut. Beberapa perlindungan hukum tersedia untuk melindungi berbagai aspek kehidupan individu. Perlindungan ini mencakup bidang- bidang seperti hak-hak anak, pembagian harta gono-gini, hak atas tempat tinggal, hak atas kesejahteraan sosial dan hak atas warisan.

Penulis juga menyimpulkan; Di satu pihak, pendaftaran itu dimaksudkan menjadi pembatasan serta pengaturan yang harus didesain, karena tidak bertentangan menggunakan ketentuan undang-undang dasar, karena pembatasan-pembatasan yang diakibatkan oleh pencatatan perkawinan itu ditentukan menggunakan undang-undang dan dilaksanakan memakai maksud untuk menjamin pengakuan perkawinan. Menjunjung tinggi hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai memakai pertimbangan moral yang telah ditetapkan, nilai-nilai kepercayaan, keamanan serta ketertiban awam. Kedua, protokoler administrasi yang diterapkan oleh negara hendaknya memandang perkawinan sebagai perbuatan hukum terpenting dalam kehidupan, yang akan sangat luas dan banyak dapat dibuktikan akibat hukumnya di kemudian hari. Bukti yang cukup dengan surat-surat yang nyata, sehingga perlindungan dan pelayanan negara yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul karena perkawinan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Perkawinan yang tidak dicatatkan, negara tidak bisa menyampaikan proteksi aturan mengenai status perkawinan, harta bersama, dan hak-hak lain kecuali ada kebenaran substantif yang dapat dibuktikan oleh kedua belah pihak pada persidangan.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian: Pertama, status perkawinan dengan pencatatan yang dipalsukan dalam Hukum Islam adalah sah secara agama, namun terdapat implikasi negatif terhadap tidak dapat terpenuhinya hak-hak istri akibat perceraian. Adapun solusi terhadap kasus ini adalah dengan menggunakan permohonan isbath nikah agar seluruh akibat perceraian dapat diakomodir oleh Pengadilan. Kedua, Hakim pada Pengadilan Agama dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa meskipun akta nikahnya palsu, namun akta ini dibuat secara sadar dan diketahui bersama. Adapun Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Mataram merupakan putusan tentang adanya dugaan perbuatan melawan hukum berupa akta nikah palsu, bukan putusan yang membatalkan perkawinan. Adapun perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan, maka negara tidak bisa menyampaikan proteksi aturan kecuali terdapatnya kebenaran materil yang bisa dibuktikan pada persidangan.

 

REFERENSI

Andrizal, A., & Akhbarizan, A. (2022). Hak Konstitusional Penduduk Dalam Pernikahan Yang Tidak Tercatat Menurut Hukum Di Indonesia. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 6(2), 27–45.

Arum, D. (2017). Pembentukan Holding Company Bumn Reasuransi. Universitas Gadjah Mada. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/117037

Dasopang, B. (2020). Probelematika Masyarakat Desa Liang Asona Terhadap Pencatatan Pernikahan Di Kantor Urusan Agama (KUA) Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (HKI)(Studi Kasus Desa Liang Asona Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara). Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. http://repository.uinsu.ac.id/10875/

Diab, A. L. (2018). Legalisasi Nikah Sirri Melalui Isbat Nikah Perspektif Fikih (Telaah Terhadap Kompilasi Hukum Islam). Al-’Adl, 11(2), 36–61. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31332/aladl.v11i2.1248 

Drs. Ahmad Zaeni, S.H., M. . (2020). Wawancara dengan Ketua Majelis YM.

Dwinopianti, E. (2017). Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUndang-Undang-Xiii/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris. Universitas Islam Indonesia. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8710 

Fahma, M. S. (2022). Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Pidana Terhadap Pelaku Pemalsuan Akta NikahUniversitas Islam Kalimantan MAB.

Faizal, L. (2016). Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan. ASAS, 8(2). https://doi.org/https://doi.org/10.24042/asas.v8i2.1247

Hadikusuma, H. (2020). Hukum Perkawinan Indonesia: menurut perundangan, hukum adat, hukum agama. Istrianty, A., & Priambada, E. (2016). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah

Perkawinan Berlangsung. Privat Law, 3(2), 164410.

Jamil, A., & Nur, M. (2022). Perlindungan Hukum Dan Keadilan Para Pihak Melalui Ex Officio Hakim Dalam Putusan Verstek Perkara Perceraian. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 29(2), 439–460. https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/19866

Khairuddin, K., & Julianda, J. (2017). Pelaksanaan Itsbat Nikah Keliling dan Dampaknya terhadap Ketertiban Pencatatan Nikah (Studi Kasus di Kabupaten Bireuen). SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 1(2), 319–351. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/sjhk.v1i2.2384

Lengkong, L. Y., Abbon, T., Hendri Jayadi, P., & Situmeang, T. (2021). Pencegahan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Membangun Negeri, 5(2), 256–271.

Listyorini, P. I. (2016). Perencanaan dan Pengendalian Obat Generik dengan Metode Analisis ABC, EOQ dan ROP (Studi Kasus Di Unit Gudang Farmasi RS PKU ‘Aisyiyah Boyolali). Infokes: Jurnal Ilmiah Rekam Medis Dan Informatika Kesehatan, 6(2). https://doi.org/https://doi.org/10.47701/infokes.v6i2.144 

Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. (2020). Diseminasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Di Desa Sidetapa Terkait Urgensi Pencatatan Perkawinan Untuk Memperoleh Akta Perkawinan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 8(1), 138–155. https://doi.org/https://doi.org/10.23887/jpku.v8i1.24381

Mohd. Idris Ramulyo. (1996). Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara. Jakarta.

Muis, D. J. (2018). Studi Perkawinan Menurut Masing-Masing Agama Dan Kepercayaan Yang Tidak Dicatatkan.                                              Lex Privatum6(10). https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/25848

Musyafah, A. A. (2020). Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam. Crepido, 2(2), 111–122. Nasitah, D. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran (Analisis Yuridis Penetapan

Pengadilan Agama Trenggalek Nomor: 0102/pdt. p/2013/pa. tl). Brawijaya University.

Nazah, F. N., & Husnia, H. (2018). Kepastian Hukum Itsbat Nikah Dalam Hukum Perkawinan. Jurnal Hukum Replik, 6(2), 241–263.

Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., M. . (2021). Wawancara bersama YM.

Rukmana, A. (2016). Tradisi Perkawinan Baduy Luar dengan Baduy dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten).

Usman, R. (2017). Makna pencatatan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia.

Wahbah Zuhaili, F. I. S. (2010). Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits), Jilid 2.

Zakariah, M. A., Afriani, V., & Zakariah, K. H. M. (2020). Metodologi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Action Research, Research And Development (R n D). Yayasan Pondok Pesantren Al Mawaddah Warrahmah Kolaka.

Zalza, A. (2022). Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Akta Nikah. Universitas Bosowa. Zamroni, M. (2019). Prinsip-Prinsip Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia. Media Sahabat Cendekia.

Lampiran

Artikel Status Hukum Perkawinan Yang Pencatatannya Dipalsukan Lihat Disini 

 

Hubungi Kami

Mahkamah Syar'iyah Kuala Simpang Kelas IB

Jl. Sekerak, Kompleks Perkantoran Pemkab Aceh Tamiang, Desa/Kelurahan Kampung Bundar, Kec. Karang Baru, Kab. Aceh Tamiang

Telepon : (0641) 7447025

Fax: (0641) 7447025

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Lokasi Kantor

© 2024 Mahkamah Syar'iyah Kuala Simpang Kelas IB